...GCG : untuk Indonesia Lebih Baik.....Membangun Indonesia dengan GCG....

Rabu, 28 Oktober 2009

Whistleblower dan Peran Strategis di Korporasi Indonesia

Oleh : Mohamad Fajri M.P

Saat ini dunia korporasi Indonesia sedang marak dengan implementasi Good Corporate Governance (GCG). Regulator pun berlomba-lomba untuk mengeluarkan peraturan terkait dengan implementasi GCG. Bapepam, Kementerian BUMN dan terakhir Bank Indonesia saat ini telah memiliki standar tersendiri mengenai pelaksanaan GCG. Di sisi lain, perusahaan-perusahaan pun tidak kalah kesadarannya untuk mengimplementasikan GCG, karena dirasakan implementasi GCG saat ini bukan lagi merupakan suatu kewajiban akan tetapi suatu kebutuhan dalam menghadapi persaingan global. GCG telah diterima sebagai istilah bersama dan obat mujarab untuk mengatasi krisis yang terjadi saat ini.

Namun perlu juga disadari bahwa implementasi GCG di perusahaan tersebut tidaklah mudah. Akan terdapat berbagai resistensi dan perlawanan dari kelompok-kelompok “status quo” yang merasa terganggu dengan implementasi GCG ini. Hal ini tentunya membutuhkan perhatian serius dari pihak internal perusahaan agar pelaksanaan GCG tidak hanya menjadi slogan semata, namun benar-benar terinternalisasi dan terimplementasi dengan baik pada segenap elemen perusahaan.

Perusahaan yang hendak mengimplementasikan GCG, hendaknya telah memiliki infrastruktur dan soft-structure GCG yang lengkap. Infrastruktur GCG berkaitan dengan organ-organ perusahaan, sementara soft-structure GCG merupakan dokumen yang mengatur organ tersebut. Salah satu soft-structure yang perlu dimiliki adalah GCG Code. Dalam salah satu klausul GCG Code, disebutkan tentang pelaporan tentang pelanggaran implementasi GCG yang disebut dengan whistleblower.

Di Indonesia, whistleblower belum mendapat perhatian serius, berbeda dengan di Amerika. Pasca terjadinya kasus Enron, standar bagi perusahaan-perusahaan Amerika diperketat dengan adanya Sarbanes Oxley Act. Whistleblower pun mendapat perhatian tersendiri dalam Sarbanes Oxley Act. Definisi Whistleblower dalam Sarbanes Oxley Act : Any employee who makes such a disclosure to any supervisor or any other person working for the employer who has “authority to investigate, discover, or terminate misconduct” is protected. Also protected is disclosure of allegedly fraudulent conduct to a federal regulatory or law enforcement agency, a member of Congress, or any committee thereof. Namun demikian, Indonesia telah berbenah dengan inisiatif dari Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) yang mengeluarkan Pedoman Sistem Pelaporan Pelanggaran (Whistleblowing System) yang dikeluarkan tanggal 10 November 2008.

Agent of Change dan Whistleblower

Meningkatnya kebutuhan implementasi GCG terkait dengan adanya semangat sebagai agent of change, yakni agen-agen perubah yang akan membawa spirit GCG. Dalam Sarbanes Oxley Act, perlindungan terhadap whistleblower sangat diperhatikan. Penyediaan beragam fasilitas sangat diperhatikan sampai ke hal-hal terkecil. Fasilitas untuk para pelapor ini mulai dari pemberian rasa aman hingga kelangsungan hidup pribadi dan keluarga. Semua kegiatan dan kebutuhan diatur melalui kantor operasi penegakan unit khusus perlindungan saksi yang berada di bawah Divisi Kriminal Departemen Kehakiman.

Chintya Cooper, seorang internal audit yang mengungkap kasus Worldcom dielu-elukan sebagai pahlawan. Chintya Cooper telah menjadi agent of change yang sukses. Keberhasilan Chintya mengantarkannya termasuk salah seorang People of The Year versi Majalah Time. Bersama dengan whistleblower lainnya, Chintya telah menyelamatkan perusahaan dari kemungkinan lebih buruk. Bagaimana dengan Indonesia? Jika kita menoleh ke beberapa tahun yang lalu, ada suatu kisah tentang seorang auditor BPK bernama Khairiansyah Salman. Khairiansyah merupakan auditor BPK yang mengaudit Komisi Pemilihan Umum (KPU) sehingga akhirnya beberapa anggota KPU dipidana dengan kasus korupsi. Demikian juga beberapa nama lain yang bertindak sebagai whistleblower. Justru mereka yang diserang balik dan disudutkan.

Hal ini sangat disayangkan, sebab tidak banyak orang yang bersedia mengambil risiko untuk melaporkan suatu pelanggaran/tindak pidana jika dirinya, keluarganya dan harta bendanya tidak mendapat perlindungan dari ancaman yang mungkin timbul karena laporan yang dilakukannya. Begitu juga dengan saksi. Kalau tidak mendapat perlindungan yang memadai, akan enggan memberikan keterangan sesuai dengan fakta yang dialami, dilihat dan dirasakannya sendiri.

Apa yang harus dilakukan?

Dalam konteks penerapan GCG, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, keseriusan dan komitmen perusahaan untuk memberikan perlindungan. Untuk itu perlu dibentuk kebijakan khusus mengenai whistleblower. Perlindungan dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu perlindungan hukum dan perlindungan khusus terhadap ancaman. Perlindungan hukum dapat berupa kekebalan yang diberikan kepada pelapor dan saksi untuk tidak dapat digugat secara perdata atau dituntut secara perdata sepanjang yang bersangkutan memberikan kesaksian atau laporan dengan iktikad baik atau yang bersangkutan tidak sebagai pelaku tindak pidana itu sendiri. Dalam konteks perusahaan, laporan yang diberikan oleh pelapor tidak akan merugikan si pelapor. Artinya si pelapor tidak akan terkena demosi, dipecat dan hal-hal yang merugikan lainnya.

Perlindungan hukum lain adalah berupa larangan bagi siapapun untuk membocorkan nama pelapor atau kewajiban merahasiakan nama pelapor disertai dengan ancaman pidana terhadap pelanggarannya. Semua saksi, pelapor dan korban memerlukan perlindungan hukum ini. Sementara perlindungan khusus kepada saksi, pelapor dan korban diberikan oleh perusahaan untuk mengatasi kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa dan harta benda, termasuk pula keluarga. Selain itu, dari awal setiap insan perusahaan harus menandatangani pernyataan komitmen yang menyatakan kesediaan untuk mendukung adanya whistleblowing system dan bersedia memberikan laporan apabila menemukan terjadinya pelanggaran.

Hal kedua adalah pembenahan tanpa pandang bulu. Laporan yang masuk disertai dengan bukti permulaan yang cukup harus ditindaklanjuti. Setiap pelanggaran yang terjadi harus diusut tuntas dan bila memang terbukti bersalah maka harus diberikan sanksi yang tegas. Untuk itu kelengkapan infrastruktur yang mendukung harus dimiliki. Setiap perusahaan dapat membentuk Tim Ombudsman yang berfungsi sebagai penerima pelaporan, penyelidik, penyidik dan tim pemberi sanksi. Tim ini haruslah diisi dengan orang-orang yang memiliki integritas baik dan tidak mudah dipengaruhi. Kewenangan yang diberikan haruslah cukup untuk dapat menindak pelaporan, termasuk pelanggaran yang dilakukan oleh Board.

Berbagai hal ini apabila dilaksanakan dengan kesadaran penuh tanggungjawab akan menghasilkan pengelolaan korporasi berbasi GCG yang kuat, harmonis dan pada akhirnya akan menghasilkan kesejahteraan kepada seluruh stakeholders. Untuk itu, maka satu prinsip yang perlu diingat adalah, “jangan takut mengungkapkan kebenaran, karena kebenaran sejati pasti akan terungkap dengan atau tanpa kita.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar