...GCG : untuk Indonesia Lebih Baik.....Membangun Indonesia dengan GCG....

Senin, 11 Oktober 2010

IMPLEMENTASI GCG DALAM KEBIJAKAN HADIAH

(Tulisan telah dimuat di Harian Bisnis Indonesia, Kamis 2 September 2010)
 Oleh: Mohamad Fajri M.P
          ( Head of Good Corporate Governance PT Elnusa Tbk.)

Seiring dengan semakin dekatnya hari raya Idul Fitri 1431 H, terdapat praktik yang kelihatannya sepele namun jika didiamkan memiliki dampak cukup dahsyat. Praktik itu adalah pemberian hadiah/hiburan dalam bentuk parcel dan hal-hal lainnya. Biasanya, banyak parcel yang berdatangan kepada individu-individu perusahaan yang memiliki posisi strategis. Selain parcel, kadang kala terdapat pemberian hadiah maupun hiburan dalam bentuk lain, seperti voucher belanja, tiket golf, maupun uang tunai bagi individu-individu tersebut. Salah satu kawan penulis menceritakan bahwa ketika ia di bagian procurement suatu perusahaan, ada vendor yang mengirimkan kartu lebaran. Ketika dibuka, ternyata isinya tidak hanya kartu lebaran saja, namun terdapat beberapa lembar lainnya.

Dalam kaitannya dengan implementasi GCG, pemberian hadiah dan hiburan perlu diatur sedemikian rupa. GCG tidak ingin menghalangi pemberian dan penerimaan hadiah dan hiburan untuk keperluan menjaga hubungan bisnis, namun demikian, jika tidak diatur, dapat berpengaruh terhadap pelaksanaan pengambilan keputusan di perusahaan.


Dalam buku The Art Corruption karya Sam Santoso dkk, praktik pemberian hadiah dan hiburan kepada individu di perusahaan dapat dicurigai sebagai sebuah langkah awal menuju tindak pidana korupsi dengan dalih menjaga hubungan baik dengan individu pejabat. Memang belum mengarah kepada praktik suap, namun dapat dikatakan sudah ada “tanda jadi” kepada individu tersebut. Jika dipikirkan secara logika, seseorang diberikan suatu hadiah atau hiburan sebenarnya lebih dikarenakan jabatan yang dimiliki oleh individu tersebut, bukan karena pribadinya. Salah satu contoh yang cukup rawan biasanya terjadi ketika individu pejabat menikahkan anaknya. Jika dilihat, maka terdapat angpao yang besarnya dapat mencapai Rp 10 juta. Namun, setelah sang pejabat tidak lagi menjadi pejabat, ketika menikah, kawan-kawannya kembali memberi angpao dengan jumlah wajar. Artinya, yang dilihat oleh si pemberi hadiah adalah jabatan yang diemban oleh si pejabat.

Hal ini sangat berbahaya, sebab bagi individu yang diberikan hadiah akan merasa berutang budi kepada pemberi, yang akibatnya ketika timbul suatu urusan yang melibatkan perusahaan dengan si pemberi, si pemberi akan menerima privilege. Inilah yang disebut dengan konflik kepentingan. Untuk mengamankan hal tersebut, maka perlu dibuat aturan sedemikian rupa untuk mencegah terjadinya hal ini. Pemberian hadiah merupakan pintu masuk dari korupsi, oleh karena itu jangan sampai perkara sepele seperti ini membawa kehancuran bagi perusahaan.

Dalam konteks GCG, maka perlu dibuat aturan yang memperketat aturan mengenai pemberian dan penerimaan hadiah dan hiburan. Suatu kebijakan khusus mutlak diperlukan, agar pintu masuk korupsi tadi dapat dieliminir. Hal ini akan membawa dampak positif bagi perusahaan.

Beberapa langkah yang dapat dilakukan oleh perusahaan harus langkah-langkah yang tepat dan membumi. Jangan membuat kebijakan yang menjadi milik top management, tanpa melibatkan individu-individu pelaksana di perusahaan. Jangan pula membuat kebijakan atau memasang iklan di koran bahwa perusahaan tidak mentolerir penerimaan hadiah, namun dalam prakteknya, banyak individu yang tetap menerima hadiah dan hiburan yang berhubungan dengan jabatannya.

Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah dengan membangun komitmen top management. Sebelum kebijakan dibuat, maka top management haruslah memiliki komitmen untuk tidak menerima hadiah dan hiburan. Hal ini penting, karena berdasarkan pengalaman penulis, di level top management-lah justru penerimaan hadiah dan hiburan ini yang paling banyak. Hal ini sesuai dengan pameo bahwa semakin tinggi jabatan dan posisi, maka semakin besar pula hadiah dan hiburan yang diterima. Pembangunan komitmen ini mutlak diperlukan, termasuk komitmen untuk menerima sanksi apabila terjadi pelanggaran.

Langkah kedua adalah dengan membuat kebijakan khusus mengenai hadiah dan hiburan. Kebijakan ini haruslah dibuat dengan jelas dan tegas, tanpa menyisakan celah, multi tafsir maupun grey area yang dapat terjadi. Oleh karena itu, selain kebijakan, maka perlu dibuat pedoman yang jelas dan tegas. Definisi hadiah dan hiburan yang termasuk dalam ketentuan ini pun harus dibuat jelas. Definisi hadiah dapat mengambil dari definisi hadiah menurut Undang-undang Anti Tindak Pidana Korupsi. Selain definisi, perlu juga dibuat mengenai nilai nominal. Hal ini penting untuk mengukur sejauh mana kebijakan ini berlaku. Jangan membuat kebijakan dengan bahasa-bahasa normatif yang cenderung multi tafsir.

Langkah ketiga adalah dengan melakukan sosialisasi menyeluruh. Sosialisasi dilakukan kepada pihak internal dan eksternal perusahaan. Internal perusahaan harus menyeluruh kepada seluruh unit kerja, dan sedapat mungkin dilakukan secara terpadu. Beberapa model yang dapat diterapkan antara lain dengan memiliki champion GCG dari setiap unit kerja. Setiap ada kebijakan/ketentuan baru, champion GCG yang berkewajiban melakukan sosialisasi. Berbagai sarana sosialisasi seperti melalui poster, leaflet, maupun sarana elektronik seperti email perlu dilakukan. Jadikan bahwa setiap insan perusahaan mengetahui secara jelas kebijakan ini.

Selain kepada pihak internal, sosialisasi juga dilakukan pada pihak eksternal, seperti kepada vendor dan supplier. Hal ini penting dilakukan di awal, sebab seringkali vendor dan supplier sudah menganggarkan dalam budget untuk memberikan hadiah dan hiburan. Komitmen vendor dan supplier untuk tidak memberikan sesuatu kepada insan Perusahaan perlu dilakukan. Dengan tidak mau memberikan hadiah, berarti vendor dan supplier telah mendukung pelaksanaan implementasi GCG di perusahaan.

Langkah keempat adalah dengan melakukan monitoring dan implementasi. Monitoring pelaksanaan kebijakan secara konsisten dan implementasi dalam pelaksanaan aktivitas sehari-hari. Ujung yang diharapkan adalah agar GCG dalam kaitannya dengan kebijakan ini menjadi budaya dalam pelaksanaan aktivitas sehari-hari. Melalui sarana implementasi inilah akan dapat diketahui kekurangan dan kendala dalam pelaksanaan kegiatan ini. Jika terdapat pelanggaran dari kebijakan, maka harus dilakukan penegakan peraturan secara tanpa pandang bulu.

Pada akhirnya, diharapkan kebijakan hadiah dan hiburan yang dipublikasikan di media dapat menjadi budaya perusahaan. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar