Bisnis Indonesia, Rabu, 23 Juli 2008
Oleh Tirmidzi Taridi
(Direktur MUC Consulting Group, Jakarta)
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memperkirakan penerimaan berupa laba usaha daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah tahun ini hanya Rp 161,7 miliar dari target Rp 170,9 miliar (Bisnis, 15 Juli 2008).
Dari 20 perusahaan milik Pemprov DKI, hanya beberapa perusahaan yang memberikan kontribusi pada Pemprov seperti Bank DKI, PT Pembangunan Jaya Ancol, PD Pasar Jaya, dan PT Jakarta Propertindo. Apakah ini fenomena yang umum terjadi di semua BUMD di seluruh Indonesia?
Dibandingkan dengan BUMN yang sama-sama dimiliki oleh pemerintah, prestasi yang mampu dicatat oleh BUMD-BUMD di seluruh Indonesia memang relatif ketinggalan. Dalam berbagai survei penilaian perusahaan misalnya dari sisi best brand, customer satisfaction, service excellent, good corporate governance, hampir tidak pernah dijumpai perusahaan-perusahaan milih Pemprov tersebut yang bisa menembus daftar 10 besar.
Sementara itu, banyak BUMN-BUMN yang dahulu sering dianggap dikelola dengan tidak profesional, dalam beberapa tahun terakhir ini, mampu bertengger dan bertahan di urutan puncak.
Dalam hal penerapan praktik pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG) pun, di luar Bank Pembangunan Daerah yang relatif sudah di depan, BUMDBUMD umumnya relatif ketinggalan.
Untuk penerapan GCG yang efektif di perusahaan diperlukan infrastructure dan soft-structure yang memadai. Umumnya GCG infrastructure di perusahaan seperti adanya komite nominasi dan remunerasi, komite manajemen risiko, maupun komite GCG, selain komite audit, belum cukup terbentuk di BUMD.
Demikian juga dengan GCG soft-structure seperti GCG Code, board manual untuk dewan komisaris (pengawas) dan direksi, code of conduct, berbagai macam charter untuk berbagai macam organ pendukung GCG, dan standard operation procedures (SOP) yang belum disusun secara komprehensif.
Pendekatan holistik yang mampu menyentuh semua stake holders umumnya juga belum dilakukan oleh BUMD yang lebih berfokus kepada pemegang saham, direksi dan komisaris (pengawas). Di pihak lain, karyawan, pemasok, pelanggan, dan masyarakat secara luas belum diperhatikan secara maksimal.
Di luar Bank Pembangunan Daerah, BUMD-BUMD yang lain umumnya score GCG-nya masih lebih rendah dibandingkan dengan BUMN dan perusahaan swasta yang telah go public. Kalau semua perusahaan dibagi dalam dua kelompok yang sudah listed dan yang belum, perusahaan yang sudah listed secara umum mempunyai GCG yang lebih baik.
Juga, kalau perusahaan itu dibagi dalam kelompok perbankan dan nonperbankan, umumnya kelompok perbankan mempunyai rating GCG yang lebih baik. Lebih lanjut, di antara BUMN dan BUMD, umumnya BUMN mempunyai GCG yang lebih baik.
Jika dilihat lebih lanjut, kecenderungan tersebut sangat terkait dengan adanya instansi yang mengatur, mengawasi, membina dan memedulikan kelompok perusahaan-perusahaan tersebut. Perusahaan yang sudah go public umumnya mempunyai GCG yang baik karena ada standar dan peraturan yang ketat baik dari Bapepam-LK maupun otoritas bursa yang harus diikuti.
Demikian juga industri perbankan harus mengikuti Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang GCG yang memberikan pedoman dan standar pelaksanaan GCG secara detail. Kelompok perusahaan BUMN juga 'beruntung' karena ada institusi Kementerian Negara BUMN yang secara konsisten memberikan pedoman dan sosialisasi pelaksanaan GCG di seluruh BUMN.
Bank Pembangunan Daerah juga relatif sudah mulai menerapkan praktik GCG karena ada institusi Bank Indonesia yang secara rutin mengawasi pelaksanaan GCG di BPD-BPD tersebut. Sebaliknya, yang menjadi permasalahan adalah BUMD yang bukan bank dan belum go public karena tidak ada instansi yang secara khusus dan ketat memberikan pedoman dan pengawasan atas pelaksanaan GCG di BUMD tersebut.
Dasar hukum lemah
Hal lain yang mungkin menyebabkan pelaksanaan GCG relatif lemah di BUMD adalah dasar hukum pembentukan BUMD yang berdasarkan pada peraturan daerah (Perda) dan bukan seperti perusahaan lainnya yang sudah mengacu pada UU Perseroan Terbatas (PT).
Berbeda dengan UU PT yang penyusunan dan penyempurnaannya sudah mengadopsi pada prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang baik dan modern sesuai dengan prinsip TARIF, acuan di peraturan daerah sebagai dasar pembentukan suatu BUMD, sekali lagi, masih belum menyesuaikan dengan perkembangan modern prinsip pengelolaan perusahaan.
Berbagai pendapat bahwa banyak BUMD yang salah urus atau didirikan tanpa perencanaan yang matang dan hanya membebani keuangan daerah atau tidak memberikan kontribusi apa pun pada pemerintah daerah atau rakyat di daerah yang bersangkutan harus segera diakhiri.
Melihat bahwa masalah lemahnya praktik governance di BUMD adalah problem institusi, maka pihak-pihak yang bertanggung jawab harus segera bertindak untuk mengatasi ketertinggalan ini.
Di tengah antusiasme daerah untuk menjadikan otonomi daerah sebagai panglima, perlu ada lembaga di tingkat pusat yang bertanggung jawab untuk peningkatan GCG di BUMD. Menteri Dalam Negeri mewakili Presiden dan mitra kerjanya di DPR perlu segera membuat aturan tentang BUMD, yang pada gilirannya diimplementasikan oleh pemerintah daerah dan DPRD. Dalam prosesnya, mungkin Departemen Dalam Negeri bisa 'berguru' kepada Kementerian Negara BUMN, Bapepam-LK ataupun Bank Indonesia yang sudah lebih dulu berhasil mengawal implementasi GCG di perusahaan-perusahaan yang ada dalam kewenangannya. Sejalan dengan itu, dasar hukum pembentukan BUMD yang dilakukan melalui Perda juga perlu mengadopsi prinsip-prinsip GCG seperti dalam UU PT.
Berbagai survei membuktikan bahwa perusahaan yang mempunyai GCG yang baik juga akan mempunyai kinerja yang lebih baik. Hal itu memang sesuai dengan GCG Frame Work bahwa GCG tidak hanya terbatas pada aspek compliance yang secara formalitas menaati ketentuan yang ada, tapi juga harus diikuti dengan conformance dalam implementasi GCG sehari-hari sehingga terinternalisasi sebagai corporate culture, dan untuk selanjutnya dapat menghasilkan performance yang optimal bagi perusahaan dan semua stake holders.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar