Oleh : Mohamad Fajri M.P
Saat ini dunia korporasi Indonesia sedang marak dengan implementasi Good Corporate Governance (GCG). Regulator pun berlomba-lomba untuk mengeluarkan peraturan terkait dengan implementasi GCG. Bapepam, Kementerian BUMN dan terakhir Bank Indonesia saat ini telah memiliki standar tersendiri mengenai pelaksanaan GCG. Di sisi lain, perusahaan-perusahaan pun tidak kalah kesadarannya untuk mengimplementasikan GCG, karena dirasakan implementasi GCG saat ini bukan lagi merupakan suatu kewajiban akan tetapi suatu kebutuhan dalam menghadapi persaingan global. GCG telah diterima sebagai istilah bersama dan obat mujarab untuk mengatasi krisis yang terjadi saat ini.
Namun perlu juga disadari bahwa implementasi GCG di perusahaan tersebut tidaklah mudah. Akan terdapat berbagai resistensi dan perlawanan dari kelompok-kelompok “status quo” yang merasa terganggu dengan implementasi GCG ini. Hal ini tentunya membutuhkan perhatian serius dari pihak internal perusahaan agar pelaksanaan GCG tidak hanya menjadi slogan semata, namun benar-benar terinternalisasi dan terimplementasi dengan baik pada segenap elemen perusahaan.
Perusahaan yang hendak mengimplementasikan GCG, hendaknya telah memiliki infrastruktur dan soft-structure GCG yang lengkap. Infrastruktur GCG berkaitan dengan organ-organ perusahaan, sementara soft-structure GCG merupakan dokumen yang mengatur organ tersebut. Salah satu soft-structure yang perlu dimiliki adalah GCG Code. Dalam salah satu klausul GCG Code, disebutkan tentang pelaporan tentang pelanggaran implementasi GCG yang disebut dengan whistleblower.
Di Indonesia, whistleblower belum mendapat perhatian serius, berbeda dengan di Amerika. Pasca terjadinya kasus Enron, standar bagi perusahaan-perusahaan Amerika diperketat dengan adanya Sarbanes Oxley Act. Whistleblower pun mendapat perhatian tersendiri dalam Sarbanes Oxley Act. Definisi Whistleblower dalam Sarbanes Oxley Act : Any employee who makes such a disclosure to any supervisor or any other person working for the employer who has “authority to investigate, discover, or terminate misconduct” is protected. Also protected is disclosure of allegedly fraudulent conduct to a federal regulatory or law enforcement agency, a member of Congress, or any committee thereof. Namun demikian, Indonesia telah berbenah dengan inisiatif dari Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) yang mengeluarkan Pedoman Sistem Pelaporan Pelanggaran (Whistleblowing System) yang dikeluarkan tanggal 10 November 2008.
Agent of Change dan Whistleblower
Meningkatnya kebutuhan implementasi GCG terkait dengan adanya semangat sebagai agent of change, yakni agen-agen perubah yang akan membawa spirit GCG. Dalam Sarbanes Oxley Act, perlindungan terhadap whistleblower sangat diperhatikan. Penyediaan beragam fasilitas sangat diperhatikan sampai ke hal-hal terkecil. Fasilitas untuk para pelapor ini mulai dari pemberian rasa aman hingga kelangsungan hidup pribadi dan keluarga. Semua kegiatan dan kebutuhan diatur melalui kantor operasi penegakan unit khusus perlindungan saksi yang berada di bawah Divisi Kriminal Departemen Kehakiman.
Chintya Cooper, seorang internal audit yang mengungkap kasus Worldcom dielu-elukan sebagai pahlawan. Chintya Cooper telah menjadi agent of change yang sukses. Keberhasilan Chintya mengantarkannya termasuk salah seorang People of The Year versi Majalah Time. Bersama dengan whistleblower lainnya, Chintya telah menyelamatkan perusahaan dari kemungkinan lebih buruk. Bagaimana dengan Indonesia? Jika kita menoleh ke beberapa tahun yang lalu, ada suatu kisah tentang seorang auditor BPK bernama Khairiansyah Salman. Khairiansyah merupakan auditor BPK yang mengaudit Komisi Pemilihan Umum (KPU) sehingga akhirnya beberapa anggota KPU dipidana dengan kasus korupsi. Demikian juga beberapa nama lain yang bertindak sebagai whistleblower. Justru mereka yang diserang balik dan disudutkan.
Hal ini sangat disayangkan, sebab tidak banyak orang yang bersedia mengambil risiko untuk melaporkan suatu pelanggaran/tindak pidana jika dirinya, keluarganya dan harta bendanya tidak mendapat perlindungan dari ancaman yang mungkin timbul karena laporan yang dilakukannya. Begitu juga dengan saksi. Kalau tidak mendapat perlindungan yang memadai, akan enggan memberikan keterangan sesuai dengan fakta yang dialami, dilihat dan dirasakannya sendiri.
Apa yang harus dilakukan?
Dalam konteks penerapan GCG, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, keseriusan dan komitmen perusahaan untuk memberikan perlindungan. Untuk itu perlu dibentuk kebijakan khusus mengenai whistleblower. Perlindungan dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu perlindungan hukum dan perlindungan khusus terhadap ancaman. Perlindungan hukum dapat berupa kekebalan yang diberikan kepada pelapor dan saksi untuk tidak dapat digugat secara perdata atau dituntut secara perdata sepanjang yang bersangkutan memberikan kesaksian atau laporan dengan iktikad baik atau yang bersangkutan tidak sebagai pelaku tindak pidana itu sendiri. Dalam konteks perusahaan, laporan yang diberikan oleh pelapor tidak akan merugikan si pelapor. Artinya si pelapor tidak akan terkena demosi, dipecat dan hal-hal yang merugikan lainnya.
Perlindungan hukum lain adalah berupa larangan bagi siapapun untuk membocorkan nama pelapor atau kewajiban merahasiakan nama pelapor disertai dengan ancaman pidana terhadap pelanggarannya. Semua saksi, pelapor dan korban memerlukan perlindungan hukum ini. Sementara perlindungan khusus kepada saksi, pelapor dan korban diberikan oleh perusahaan untuk mengatasi kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa dan harta benda, termasuk pula keluarga. Selain itu, dari awal setiap insan perusahaan harus menandatangani pernyataan komitmen yang menyatakan kesediaan untuk mendukung adanya whistleblowing system dan bersedia memberikan laporan apabila menemukan terjadinya pelanggaran.
Hal kedua adalah pembenahan tanpa pandang bulu. Laporan yang masuk disertai dengan bukti permulaan yang cukup harus ditindaklanjuti. Setiap pelanggaran yang terjadi harus diusut tuntas dan bila memang terbukti bersalah maka harus diberikan sanksi yang tegas. Untuk itu kelengkapan infrastruktur yang mendukung harus dimiliki. Setiap perusahaan dapat membentuk Tim Ombudsman yang berfungsi sebagai penerima pelaporan, penyelidik, penyidik dan tim pemberi sanksi. Tim ini haruslah diisi dengan orang-orang yang memiliki integritas baik dan tidak mudah dipengaruhi. Kewenangan yang diberikan haruslah cukup untuk dapat menindak pelaporan, termasuk pelanggaran yang dilakukan oleh Board.
Berbagai hal ini apabila dilaksanakan dengan kesadaran penuh tanggungjawab akan menghasilkan pengelolaan korporasi berbasi GCG yang kuat, harmonis dan pada akhirnya akan menghasilkan kesejahteraan kepada seluruh stakeholders. Untuk itu, maka satu prinsip yang perlu diingat adalah, “jangan takut mengungkapkan kebenaran, karena kebenaran sejati pasti akan terungkap dengan atau tanpa kita.”
Rabu, 28 Oktober 2009
Selamatkan Indonesia dengan GCG!
Oleh: Mohamad Fajri MP
Badai krisis keuangan global memang telah berlalu. Namun demikian, pemerintah dan dunia usaha jangan cepat berpuas diri dahulu. Pemerintah dan dunia usaha harus bersiap menghadapi berbagai kemungkinan terburuk. Dalam hal ini, Pemerintah dan dunia usaha perlu belajar dari pengalaman, sebab berdasarkan kajian Bank Dunia, salah satu penyebab krisis di Indonesia tahun 1997 adalah lemahnya implementasi GCG dan maraknya praktik bad corporate governance. Hal ini sangat mengherankan, sebab Indonesia yang dampak krisisnya masih terasa sampai saat ini justru tidak mengambil langkah antisipatif dan solusi komprehensif.
Ada beberapa hal yang patut disoroti terkait dengan lack of corporate governance di Indonesia. Pertama, kesalahan menjadikan GCG hanya per sektor saja. Di Indonesia, tidak ada undang-undang yang secara khusus menjadikan GCG sebagai kewajiban korporasi secara nasional. Memang Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas telah memuat semangat GCG, namun hal tersebut tidaklah cukup. Kewajiban pelaksanaan GCG dilakukan per sektor saja antara lain di BUMN dengan Keputusan Menteri Negara BUMN Nomor 117/M-MBU/2002, perbankan dengan PBI Nomor 8/4/PBI/2006 yang dirubah dengan PBI Nomor 8/14/PBI/2006, sektor asuransi dengan keluarnya Pedoman GCG Perasuransian, perusahaan listing di bursa, dan dana pensiun.
Sektor pasar modal melalui Bapepam dan Bursa Efek Indonesia pun justru belum secara tegas menyatakan kewajiban GCG kepada para emiten. Hal ini sangat disayangkan, karena dengan tidak adanya insentif untuk emiten, menjadikan emiten tidak bersemangat menjalankan GCG dan kalaupun dijalankan tidak lebih dari sekedar formalitas dan memenuhi kewajiban saja. Seharusnya kewajiban GCG tidak dijadikan per sektor saja, namun harus dijadikan kewajiban secara nasional. Perlu dikeluarkan undang-undang khusus yang secara tegas menyatakan setiap korporasi wajib menerapkan GCG. Dengan demikian akan tercipta suatu standar yang menjadikan GCG diterima dan dijalankan secara luas. Banyak korporasi yang karena tidak tahu akan hakikat GCG dan tidak menyadari akan pentingnya GCG yang kemudian justru melanggar rambu-rambu dalam berbisnis. Jangankan memiliki Code of Conduct sebagai pedoman etika bisnis dan etika kerja, akibat tidak diwajibkan untuk mengimplementasikan GCG, maka perusahaan-perusahaan ini cenderung mengabaikan GCG. Sangat disayangkan sebab timbulnya berbagai kasus fraud, penyimpangan dalam korporasi menjadi menu yang kita lihat sehari-hari dalam berita.
Hal kedua adalah implementasi GCG yang diwajibkan per sektor pun ternyata dalam pelaksanaannya hanyalah menjadi penggugur kewajiban semata. Mayoritas korporasi merasa cukup puas apabila telah mematuhi ketentuan peraturan tentang GCG. Padahal, mengutip pendapat Sofyan Djalil, compliance hanyalah tahapan paling minimal dari implementasi GCG. Jadi, jika perusahaan merasa telah melaksanakan GCG dengan mematuhi ketentuan peraturan, maka sesungguhnya korporasi tersebut masih jauh dari cukup dalam pelaksanaan GCG.
Berbicara tentang compliance, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Compliance dalam GCG berarti mematuhi ketentuan yang berkaitan dengan korporasi, misalnya di bidang pajak, jamsostek, ketenagakerjaan, dan bidang-bidang lain. Lantas bagaimana dengan penolakan Serikat Pekerja PLN untuk ikut Jamsostek dengan alasan mereka telah menyelenggarakan program yang sama secara mandiri? Jawaban paling mudah adalah berarti PLN belum mengimplementasikan GCG secara paripurna. Selain itu, hal yang perlu dikoreksi adalah menjadikan GCG sebagai bagian dari unit kerja Compliance seperti yang terjadi di sektor perbankan. Hal ini sangat tidak tepat karena berarti mempersempit konsep GCG itu sendiri. Sekali lagi yang perlu diingat, GCG compliance hanyalah bagian kecil dari GCG. Selain compliance, korporasi perlu mencari best practice yang dapat menopang kinerja korporasi. Perlu dibentuk unit kerja khusus yang melaksanakan GCG yang berfungsi mencari berbagai hal tentang GCG dan melaksanakannya secara tepat guna di perusahaan.
GCG Sebagai Solusi Krisis
Korporasi perlu mengantisipasi krisis yang terjadi dengan menyiapkan senjata. Senjata paling ampuh menurut penulis adalah dengan GCG. Dengan GCG maka korporasi memperkuat sistem dan struktur yang akan menopang dalam menghadapi krisis.
Penguatan sistem dilakukan pertama adalah dengan memperkuat manajemen risiko. Manajemen risiko diperlukan mulai dari pemetaan risiko, pengukuran risiko, dan evaluasi risiko. Penguatan manajemen risiko akan menjadikan korporasi dapat menghadapi krisis seperti yang terjadi saat ini dan siap menemukan solusi dan langkah antisipatif. Langkah selanjutnya adalah dengan memperkuat pelaksanaan etika bisnis dan etika kerja. Penguatan etika bisnis dan etika kerja (Code of Conduct) akan menjadikan korporasi lebih beretika dan bermartabat dalam berbisnis. Korporasi akan menghormati pelaksanaan bisnis dan menjauhi praktik-praktik menyimpang yang tidak benar. Hal ini secara otomatis akan mengurangi perusahaan-perusahaan nakal yang menghalalkan segala cara. Bisnis yang beretika dan bermartabat akan menjadikan krisis tidak terjadi. Langkah selanjutnya adalah dengan melaksanakan GCG secara konsisten. GCG dapat ditegakkan apabila mekanisme reward & punishment berjalan secara maksimal.
Pada akhirnya, dalam mengimplementasikan GCG, maka korporasi, pemerintah dan stakeholders harus membuat komitmen bersama dan inisiatif dari dalam tidak saja dari jajaran top management, melainkan juga meliputi seluruh unsur dalam perusahaan tersebut. Sosialisasi dan internalisasi penerapan GCG haruslah dijadikan sebagai bagian yang memperkuat dan meningkatkan praktik implementasi GCG menjadi lebih baik sehingga meningkatkan pula kepercayaan masyarakat pada perusahaan. Pada akhirnya, dengan menerapkan GCG, diharapkan perusahaan akan semakin memperkuat posisinya dalam menghadapi perkembangan persaingan global dan semakin menambah serta menguatkan nilai perusahaannya. Semoga saja.
Badai krisis keuangan global memang telah berlalu. Namun demikian, pemerintah dan dunia usaha jangan cepat berpuas diri dahulu. Pemerintah dan dunia usaha harus bersiap menghadapi berbagai kemungkinan terburuk. Dalam hal ini, Pemerintah dan dunia usaha perlu belajar dari pengalaman, sebab berdasarkan kajian Bank Dunia, salah satu penyebab krisis di Indonesia tahun 1997 adalah lemahnya implementasi GCG dan maraknya praktik bad corporate governance. Hal ini sangat mengherankan, sebab Indonesia yang dampak krisisnya masih terasa sampai saat ini justru tidak mengambil langkah antisipatif dan solusi komprehensif.
Ada beberapa hal yang patut disoroti terkait dengan lack of corporate governance di Indonesia. Pertama, kesalahan menjadikan GCG hanya per sektor saja. Di Indonesia, tidak ada undang-undang yang secara khusus menjadikan GCG sebagai kewajiban korporasi secara nasional. Memang Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas telah memuat semangat GCG, namun hal tersebut tidaklah cukup. Kewajiban pelaksanaan GCG dilakukan per sektor saja antara lain di BUMN dengan Keputusan Menteri Negara BUMN Nomor 117/M-MBU/2002, perbankan dengan PBI Nomor 8/4/PBI/2006 yang dirubah dengan PBI Nomor 8/14/PBI/2006, sektor asuransi dengan keluarnya Pedoman GCG Perasuransian, perusahaan listing di bursa, dan dana pensiun.
Sektor pasar modal melalui Bapepam dan Bursa Efek Indonesia pun justru belum secara tegas menyatakan kewajiban GCG kepada para emiten. Hal ini sangat disayangkan, karena dengan tidak adanya insentif untuk emiten, menjadikan emiten tidak bersemangat menjalankan GCG dan kalaupun dijalankan tidak lebih dari sekedar formalitas dan memenuhi kewajiban saja. Seharusnya kewajiban GCG tidak dijadikan per sektor saja, namun harus dijadikan kewajiban secara nasional. Perlu dikeluarkan undang-undang khusus yang secara tegas menyatakan setiap korporasi wajib menerapkan GCG. Dengan demikian akan tercipta suatu standar yang menjadikan GCG diterima dan dijalankan secara luas. Banyak korporasi yang karena tidak tahu akan hakikat GCG dan tidak menyadari akan pentingnya GCG yang kemudian justru melanggar rambu-rambu dalam berbisnis. Jangankan memiliki Code of Conduct sebagai pedoman etika bisnis dan etika kerja, akibat tidak diwajibkan untuk mengimplementasikan GCG, maka perusahaan-perusahaan ini cenderung mengabaikan GCG. Sangat disayangkan sebab timbulnya berbagai kasus fraud, penyimpangan dalam korporasi menjadi menu yang kita lihat sehari-hari dalam berita.
Hal kedua adalah implementasi GCG yang diwajibkan per sektor pun ternyata dalam pelaksanaannya hanyalah menjadi penggugur kewajiban semata. Mayoritas korporasi merasa cukup puas apabila telah mematuhi ketentuan peraturan tentang GCG. Padahal, mengutip pendapat Sofyan Djalil, compliance hanyalah tahapan paling minimal dari implementasi GCG. Jadi, jika perusahaan merasa telah melaksanakan GCG dengan mematuhi ketentuan peraturan, maka sesungguhnya korporasi tersebut masih jauh dari cukup dalam pelaksanaan GCG.
Berbicara tentang compliance, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Compliance dalam GCG berarti mematuhi ketentuan yang berkaitan dengan korporasi, misalnya di bidang pajak, jamsostek, ketenagakerjaan, dan bidang-bidang lain. Lantas bagaimana dengan penolakan Serikat Pekerja PLN untuk ikut Jamsostek dengan alasan mereka telah menyelenggarakan program yang sama secara mandiri? Jawaban paling mudah adalah berarti PLN belum mengimplementasikan GCG secara paripurna. Selain itu, hal yang perlu dikoreksi adalah menjadikan GCG sebagai bagian dari unit kerja Compliance seperti yang terjadi di sektor perbankan. Hal ini sangat tidak tepat karena berarti mempersempit konsep GCG itu sendiri. Sekali lagi yang perlu diingat, GCG compliance hanyalah bagian kecil dari GCG. Selain compliance, korporasi perlu mencari best practice yang dapat menopang kinerja korporasi. Perlu dibentuk unit kerja khusus yang melaksanakan GCG yang berfungsi mencari berbagai hal tentang GCG dan melaksanakannya secara tepat guna di perusahaan.
GCG Sebagai Solusi Krisis
Korporasi perlu mengantisipasi krisis yang terjadi dengan menyiapkan senjata. Senjata paling ampuh menurut penulis adalah dengan GCG. Dengan GCG maka korporasi memperkuat sistem dan struktur yang akan menopang dalam menghadapi krisis.
Penguatan sistem dilakukan pertama adalah dengan memperkuat manajemen risiko. Manajemen risiko diperlukan mulai dari pemetaan risiko, pengukuran risiko, dan evaluasi risiko. Penguatan manajemen risiko akan menjadikan korporasi dapat menghadapi krisis seperti yang terjadi saat ini dan siap menemukan solusi dan langkah antisipatif. Langkah selanjutnya adalah dengan memperkuat pelaksanaan etika bisnis dan etika kerja. Penguatan etika bisnis dan etika kerja (Code of Conduct) akan menjadikan korporasi lebih beretika dan bermartabat dalam berbisnis. Korporasi akan menghormati pelaksanaan bisnis dan menjauhi praktik-praktik menyimpang yang tidak benar. Hal ini secara otomatis akan mengurangi perusahaan-perusahaan nakal yang menghalalkan segala cara. Bisnis yang beretika dan bermartabat akan menjadikan krisis tidak terjadi. Langkah selanjutnya adalah dengan melaksanakan GCG secara konsisten. GCG dapat ditegakkan apabila mekanisme reward & punishment berjalan secara maksimal.
Pada akhirnya, dalam mengimplementasikan GCG, maka korporasi, pemerintah dan stakeholders harus membuat komitmen bersama dan inisiatif dari dalam tidak saja dari jajaran top management, melainkan juga meliputi seluruh unsur dalam perusahaan tersebut. Sosialisasi dan internalisasi penerapan GCG haruslah dijadikan sebagai bagian yang memperkuat dan meningkatkan praktik implementasi GCG menjadi lebih baik sehingga meningkatkan pula kepercayaan masyarakat pada perusahaan. Pada akhirnya, dengan menerapkan GCG, diharapkan perusahaan akan semakin memperkuat posisinya dalam menghadapi perkembangan persaingan global dan semakin menambah serta menguatkan nilai perusahaannya. Semoga saja.
ARA dan Penciptaan Annual Report Berbasis GCG
Oleh : Mohamad Fajri MP
Menjelang akhir tahun, banyak perusahaan sedang mempersiapkan diri membuat Annual Report. Selain digunakan sebagai bahan laporan kepada pemegang saham dan stakeholders, juga dipersiapkan untuk diperlombakan dalam Annual Report Award (ARA). Melihat perjalanan dari tahun-tahun sebelumnya, Annual Report Award yang didukung oleh KNKG, Kementerian Negara BUMN, Bapepam dan BI telah menjadi salah satu ajang yang cukup prestise bagi sejumlah perusahaan. Perusahaan berlomba menawarkan informasi korporat yang dikemas dengan menarik. Informasi-informasi yang beberapa tahun lalu tidak akan pernah dinikmati oleh stakeholders, saat ini bukan hal yang tabu lagi,. Sebut saja misalnya pengungkapan gaji direksi/komisaris, jumlah rapat direksi/komisaris maupun misalnya permasalahan hukum yang dihadapi perusahaan.
Hal ini sangatlah wajar, mengingat Annual Report merupakan media efektif yang dapat digunakan untuk memaksimalkan nilai dan memperkuat prestise perusahaan. Kualitas suatu perusahaan dapat terlihat dari penggunaan Annual Report. Semakin sedikit hal-hal yang disampaikan atau dengan kata lain ketidaktransparanan perusahaan akan menyebabkan stakeholders menduga-duga. Stakeholders dapat mempunyai persepsi yang cenderung negatif apabila ada informasi yang ditut-tutupi.
Namun demikian, ternyata Annual Report bagi banyak perusahaan hanya digunakan sekedar formalitas, lips service dan isinya cenderung tidak berbobot. Hal ini tentunya sangat disayangkan, karena Perusahaan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit dalam membuat Annual Report. Selain itu, justru banyak pula Perusahaan yang tidak membuat Annual Report. Padahal, seharusnya Annual Report menjadi kesempatan untuk menampilkan keunggulan perusahaan, analisa kuat dan ketahanan perusahaan menghadapi tingkat persaingan di era globalisasi yang semakin ketat.
Annual Report dan GCG
Dalam kaitan dengan GCG, Annual Report merupakan pengejawantahan dari prinsip transparansi. Prinsip transparansi dalam GCG menghendaki Perusahaan wajib mengungkapkan semua informasi penting dalam Annual Report dan Laporan keuangan kepada pemegang saham dan instansi pemerintah yang terkait sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku secara tepat waktu, akurat, jelas dan objektif.
Selain itu, OECD Principles merekomendasikan bagi Perusahaan untuk menjamin bahwa pengungkapan secara tepat waktu dan akurat diterapkan pada seluruh materi penting yang menyangkut perusahaan termasuk di antaranya faktor-faktor penting yang dapat diperkirakan kepada seluruh stakeholders. Sekali perusahaan tidak menyampaikan informasi yang benar dalam Annual Report, dan kemudian diketahui secara luas oleh stakeholders akan berakibat pada menurunnya kepercayaan stakeholders terhadap perusahaan. Dari sisi cakupan, Annual Report haruslah mampu menjangkau seluruh stakeholders, tidak dapat dibatasi oleh wilayah, jumlah yang dicetak maupun diskriminasi terhadap stakeholders tertentu.
Oleh karena itu, pengungkapan dalam bentuk web-based dalam penerapan Annual Report berbasis GCG sangatlah dianjurkan mengingat kemudahan akses dan cakupan informasi yang lebih luas dibandingkan dengan media lainnya.
GCG based Reporting
Bagi perusahaan yang telah menyadari akan implementasi GCG, porsi pengembangan terhadap Annual Report harus menjadi salah satu prioritas utama. Ada beberapa hal penting yang menjadi penekanan dalam melaksanakan GCG based Reporting. Pertama, Perusahaan memberikan porsi besar terhadap informasi yang sifatnya voluntary, tidak hanya sekedar melaksanakan kewajiban pengungkapan yang mandatory. Hal ini sangat penting, mengingat banyak Perusahaan yang merasa ”malu”, ”segan”, ”takut” apabila beberapa kejadian diungkapkan. Perasaan seperti ini tidak seharusnya terjadi apabila Perusahaan menyadari pentingnya Annual Report. Berdasarkan survey dari McKinsey & Co, investor menyatakan bahwa mereka siap memberikan premium kepada perusahaan-perusahaan yang mengimplementasikan GCG, yang praktinya dapat diketahui melalui Annual Report. Menyadari hal penting ini, maka regulator mendorong dan memberikan insentif dengan diadakannya Annual Report Award, yang memberikan apresiasi terhadap Perusahaan yang membuat Annual Report secara baik dan lengkap. Para juara Annual Report Award dapat dijadikan contoh sebagai best practice.
Kedua, Perusahaan memberikan keterbukaan terhadap informasi yang sifatnya material. Informasi yang bersifat material artinya informasi-informasi yang memiliki dampak signifikan terhadap shareholders dan stakeholders. Kasus PGN yang terjadi beberapa tahun lalu dapat dijadikan contoh nyata yang pahit apabila Perusahaan mengabaikan untuk mengungkapkan informasi yang sifatnya material tadi. Karena PGN menganggap remeh keterlambatan dalam penyelesaian proyek pipanisasi, yang sebenarnya memiliki dampak signifikan bagi investor, maka investor ”menghukum” PGN dengan jatuhnya nilai saham, dan Direksi pun didenda cukup signifikan.
Ketiga, Perusahaan harus memperhatikan area cakupan Annual Report. Beberapa perusahaan membuat Annual Report, namun jumlahnya sangat terbatas. Dengan alasan keterbatasan dana, Annual Report tidak dinikmati oleh seluruh stakeholders. Rumitnya investor dalam memperoleh Annual Report juga menjadi salah satu faktor terbatasnya cakupan penyebaran Annual Report. Annual Report yang tidak disebar dengan baik menjadikan tidak diketahuinya aktivitas yang dilakukan Perusahaan. Alhasil, stakeholders menjadi bertanya-tanya dan berpikiran negatif terhadap Perusahaan. Salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah dengan mengoptimalkan peran website Perusahaan. Untuk meminimalkan cost, Perusahaan dapat memberitahukan agar stakeholders termasuk investor untuk melihat di website apabila ingin membaca tentang Annual Report. Dengan demikian, area cakupan menjadi sangat luas, bahkan dapat mencapai luar negeri.
Namun demikian, perlu disadari bahwa Annual Report pada hakikatnya hanyalah merupakan media yang digunakan untuk semakin memaksimalkan nilai perusahaan. Jangan sampai perusahaan berlomba-lomba menjadi Annual Repor Award sebagai tujuan akhir demi memperoleh gengsi semata. Jika ini terjadi, boleh jadi Annual Report Award akan terjebak sebagai ajang formalitas dan seremonial belaka, yang pada akhirnya hanyalah basa basi semu. Semoga hal seperti ini tidak terjadi dan justru dengan Annual Report Award memperkuat barisan perusahaan yang secara komitmen mengimplementasikan GCG. Bagaimana dengan perusahaan anda?
Menjelang akhir tahun, banyak perusahaan sedang mempersiapkan diri membuat Annual Report. Selain digunakan sebagai bahan laporan kepada pemegang saham dan stakeholders, juga dipersiapkan untuk diperlombakan dalam Annual Report Award (ARA). Melihat perjalanan dari tahun-tahun sebelumnya, Annual Report Award yang didukung oleh KNKG, Kementerian Negara BUMN, Bapepam dan BI telah menjadi salah satu ajang yang cukup prestise bagi sejumlah perusahaan. Perusahaan berlomba menawarkan informasi korporat yang dikemas dengan menarik. Informasi-informasi yang beberapa tahun lalu tidak akan pernah dinikmati oleh stakeholders, saat ini bukan hal yang tabu lagi,. Sebut saja misalnya pengungkapan gaji direksi/komisaris, jumlah rapat direksi/komisaris maupun misalnya permasalahan hukum yang dihadapi perusahaan.
Hal ini sangatlah wajar, mengingat Annual Report merupakan media efektif yang dapat digunakan untuk memaksimalkan nilai dan memperkuat prestise perusahaan. Kualitas suatu perusahaan dapat terlihat dari penggunaan Annual Report. Semakin sedikit hal-hal yang disampaikan atau dengan kata lain ketidaktransparanan perusahaan akan menyebabkan stakeholders menduga-duga. Stakeholders dapat mempunyai persepsi yang cenderung negatif apabila ada informasi yang ditut-tutupi.
Namun demikian, ternyata Annual Report bagi banyak perusahaan hanya digunakan sekedar formalitas, lips service dan isinya cenderung tidak berbobot. Hal ini tentunya sangat disayangkan, karena Perusahaan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit dalam membuat Annual Report. Selain itu, justru banyak pula Perusahaan yang tidak membuat Annual Report. Padahal, seharusnya Annual Report menjadi kesempatan untuk menampilkan keunggulan perusahaan, analisa kuat dan ketahanan perusahaan menghadapi tingkat persaingan di era globalisasi yang semakin ketat.
Annual Report dan GCG
Dalam kaitan dengan GCG, Annual Report merupakan pengejawantahan dari prinsip transparansi. Prinsip transparansi dalam GCG menghendaki Perusahaan wajib mengungkapkan semua informasi penting dalam Annual Report dan Laporan keuangan kepada pemegang saham dan instansi pemerintah yang terkait sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku secara tepat waktu, akurat, jelas dan objektif.
Selain itu, OECD Principles merekomendasikan bagi Perusahaan untuk menjamin bahwa pengungkapan secara tepat waktu dan akurat diterapkan pada seluruh materi penting yang menyangkut perusahaan termasuk di antaranya faktor-faktor penting yang dapat diperkirakan kepada seluruh stakeholders. Sekali perusahaan tidak menyampaikan informasi yang benar dalam Annual Report, dan kemudian diketahui secara luas oleh stakeholders akan berakibat pada menurunnya kepercayaan stakeholders terhadap perusahaan. Dari sisi cakupan, Annual Report haruslah mampu menjangkau seluruh stakeholders, tidak dapat dibatasi oleh wilayah, jumlah yang dicetak maupun diskriminasi terhadap stakeholders tertentu.
Oleh karena itu, pengungkapan dalam bentuk web-based dalam penerapan Annual Report berbasis GCG sangatlah dianjurkan mengingat kemudahan akses dan cakupan informasi yang lebih luas dibandingkan dengan media lainnya.
GCG based Reporting
Bagi perusahaan yang telah menyadari akan implementasi GCG, porsi pengembangan terhadap Annual Report harus menjadi salah satu prioritas utama. Ada beberapa hal penting yang menjadi penekanan dalam melaksanakan GCG based Reporting. Pertama, Perusahaan memberikan porsi besar terhadap informasi yang sifatnya voluntary, tidak hanya sekedar melaksanakan kewajiban pengungkapan yang mandatory. Hal ini sangat penting, mengingat banyak Perusahaan yang merasa ”malu”, ”segan”, ”takut” apabila beberapa kejadian diungkapkan. Perasaan seperti ini tidak seharusnya terjadi apabila Perusahaan menyadari pentingnya Annual Report. Berdasarkan survey dari McKinsey & Co, investor menyatakan bahwa mereka siap memberikan premium kepada perusahaan-perusahaan yang mengimplementasikan GCG, yang praktinya dapat diketahui melalui Annual Report. Menyadari hal penting ini, maka regulator mendorong dan memberikan insentif dengan diadakannya Annual Report Award, yang memberikan apresiasi terhadap Perusahaan yang membuat Annual Report secara baik dan lengkap. Para juara Annual Report Award dapat dijadikan contoh sebagai best practice.
Kedua, Perusahaan memberikan keterbukaan terhadap informasi yang sifatnya material. Informasi yang bersifat material artinya informasi-informasi yang memiliki dampak signifikan terhadap shareholders dan stakeholders. Kasus PGN yang terjadi beberapa tahun lalu dapat dijadikan contoh nyata yang pahit apabila Perusahaan mengabaikan untuk mengungkapkan informasi yang sifatnya material tadi. Karena PGN menganggap remeh keterlambatan dalam penyelesaian proyek pipanisasi, yang sebenarnya memiliki dampak signifikan bagi investor, maka investor ”menghukum” PGN dengan jatuhnya nilai saham, dan Direksi pun didenda cukup signifikan.
Ketiga, Perusahaan harus memperhatikan area cakupan Annual Report. Beberapa perusahaan membuat Annual Report, namun jumlahnya sangat terbatas. Dengan alasan keterbatasan dana, Annual Report tidak dinikmati oleh seluruh stakeholders. Rumitnya investor dalam memperoleh Annual Report juga menjadi salah satu faktor terbatasnya cakupan penyebaran Annual Report. Annual Report yang tidak disebar dengan baik menjadikan tidak diketahuinya aktivitas yang dilakukan Perusahaan. Alhasil, stakeholders menjadi bertanya-tanya dan berpikiran negatif terhadap Perusahaan. Salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah dengan mengoptimalkan peran website Perusahaan. Untuk meminimalkan cost, Perusahaan dapat memberitahukan agar stakeholders termasuk investor untuk melihat di website apabila ingin membaca tentang Annual Report. Dengan demikian, area cakupan menjadi sangat luas, bahkan dapat mencapai luar negeri.
Namun demikian, perlu disadari bahwa Annual Report pada hakikatnya hanyalah merupakan media yang digunakan untuk semakin memaksimalkan nilai perusahaan. Jangan sampai perusahaan berlomba-lomba menjadi Annual Repor Award sebagai tujuan akhir demi memperoleh gengsi semata. Jika ini terjadi, boleh jadi Annual Report Award akan terjebak sebagai ajang formalitas dan seremonial belaka, yang pada akhirnya hanyalah basa basi semu. Semoga hal seperti ini tidak terjadi dan justru dengan Annual Report Award memperkuat barisan perusahaan yang secara komitmen mengimplementasikan GCG. Bagaimana dengan perusahaan anda?
Akankah Bad Corporate Governance Terus Berulang?
Oleh: Mohamad Fajri M.P
Terungkapnya skandal salah satu BUMN karya yang diduga melakukan rekayasa laporan keuangan patut dicermati secara mendalam. Di tengah gembar gembor pelaksanaan implementasi good corporate governance (GCG) BUMN, kasus ini memberikan tamparan keras untuk Kementerian Negara BUMN. Kasus ini, yang disebut-sebut sebagai Enron-nya Indonesia menunjukkan bahwa Kementerian Negara BUMN perlu berupaya lebih keras lagi dalam implementasi GCG di BUMN.
Terbongkarnya kasus ini berawal saat pemeriksaan kembali neraca dalam rangka penerbitan saham perdana tahun lalu. Direktur Utama perusahaan tersebut, menemukan pencatatan yang tak sesuai, dimana ditemukan kelebihan pencatatan Rp 400 miliar. Direksi periode sebelumnya diduga melakukan rekayasa keuangan sejak tahun buku 2004-2008 dengan memasukkan proyeksi pendapatan proyek multitahun ke depan sebagai pendapatan tahun tertentu.
Kasus ini memberikan beberapa pelajaran berharga. Pertama, implementasi GCG di Indonesia ternyata masih sekedar formalitas belaka. Fakta ini terungkap dari keengganan Direksi Perusahaan melaksanakan GCG di Perusahaan. Walaupun di perusahaan tersebut telah beberapa kali dilakukan assessment (pemetaan) implementasi GCG, namun tetap saja kasus ini tidak terlacak. Hal ini menunjukkan betapa canggih dan cermatnya penutupan jejak dari kasus ini. Hasil assessment GCG yang dilakukan Konsultan, pada akhirnya kemungkinan besar hanya menjadi hiasan lemari Direksi belaka, yang digunakan sebagai “penggugur kewajiban” terhadap kewajiban implementasi GCG. Hal ini menguatkan hipotesa penulis yang beberapa kali mengungkapkan bahwa jika GCG hanya sekedar menjadi formalitas, maka tunggulah saat kehancurannya. Tunggulah saatnya dimana bom waktu siap meledak dan menimbulkan guncangan skandal sebagai akibat lemahnya implementasi GCG.
Kedua, terlihat bahwa terjadi kerjasama sistemik melakukan rekayasa keuangan yang dilakukan karena lemahnya fungsi internal control. Hal ini menunjukkan bahwa pihak-pihak yang melakukan internal control mulai dari Dewan Komisaris sampai dengan Internal Audit tidak melakukan fungsinya dengan baik. Hal ini patut disayangkan mengingat GCG merupakan alat kontrol yang menciptakan check and balances yang digunakan dalam pengawasan pengelolaan perusahaan. Kementerian BUMN selaku pemegang saham dalam hal ini tidak dapat disalahkan, mengingat selaku pemegang saham Kementerian BUMN telah menempatkan wakilnya untuk melakukan pengawasan yang melekat pada diri Dewan Komisaris. Selain itu, potensi terjadinya kerjasama dengan Auditor Eksternal semakin mencuatkan dugaan kasus ini sebagai kasus Enron-nya Indonesia.
Ketiga, GCG di BUMN belumlah menjadi corporate culture. Implementasi GCG pada hakikatnya adalah menjadi corporate culture. Lemahnya implementasi GCG menunjukkan bukti bahwa GCG baru sampai tataran compliance driven, belum menjadi culture. Tidak menjadi culture pada hakikatnya membuka peluang terjadinya fraud. Fraud dapat dengan mudah terjadi, apabila insan perusahaan mendiamkan saja terjadinya pelanggaran. Kebijakan whistleblower yang memungkinkan terjadinya pelaporan pelanggaran secara dini penulis nilai juga belum diterapkan.
Langkah Selanjutnya
Apa yang harus dilakukan selanjutnya? Nasi telah menjadi bubur. Citra BUMN yang beberapa tahun terakhir menunjukkan tren positif seiring dengan pelaksanaan implementasi GCG berpotensi terpuruk kembali. Tidak bisa tidak, penyelesaian masalah ini harus dilakukan secara menyeluruh dan sistemik dengan menggabungkan paradigma GCG dan penegakan hukum.
Langkah pertama adalah dengan mengusut tuntas dan jelas pihak-pihak yang terlibat. Kementerian BUMN telah melakukan langkah tepat dengan mengganti direksi yang diduga terlibat dalam perkara ini. Namun demikian, mengganti direksi saja tidaklah cukup. Perlu dilakukan pembersihan besar-besaran terhadap intern Waskita dengan mengganti para pihak yang terlibat. Jika hanya pimpinannya saja yang diganti, tidak tertutup kemungkinan dimasa mendatang kasus ini akan terulang. Auditor Eksternal yang membantu pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab di Waskita dalam melakukan rekayasa keuangan harus dihukum seberat-beratnya, baik perusahaan maupun individunya. Jika Auditor Eksternal telah dapat dibeli oleh manajemen, kepada siapa stakeholders harus percaya?
Langkah kedua adalah dengan memperkuat implementasi GCG. Kementerian BUMN harus menyadari bahwa penguatan implementasi GCG mutlak diperlukan agar kasus yang sama tidak terulang. Kementerian BUMN tidak cukup hanya dengan “memaksa” BUMN memiliki kelengkapan infrastruktur dan softstructure, namun harus menekankan pada tataran implementasi. Perusahaan dapat menunjuk konsultan yang akan menginternalisasi dan menginstitusionalisasi penerapan GCG secara menyeluruh dan holistik. Paradigma pendekatan GCG yang compliance driven harus ditinggalkan dan diganti dengan penerapan GCG sebagai corporate culture. GCG haruslah menjadi sistem, struktur dan budaya yang satu sama lain tidak terpisahkan. Kasus ini diharapkan menjadi pemicu maraknya implementasi GCG, yang selama beberapa tahun ini kelihatannya adem ayem belaka.
Langkah ketiga adalah dengan menerapkan dan memperkuat internal control system dan kebijakan whistleblower. Internal control system yang dimiliki BUMN selama ini sangatlah lemah dan tidak tertata dengan rapi. Tindakan yang dilakukan baru sebatas mengobati sesuatu yang telah terjadi, belum sampai pada tahap pencegahan.
Selain itu, sangat sedikit BUMN yang memiliki kebijakan whistleblower dan menerapkannya. Kebijakan ini akan sangat bermanfaat untuk mendeteksi terjadi fraud. Pelapor harus dilindungi dari kemungkinan balas dendam dan tindakan berbahaya lainnya dari pihak yang dilaporkan. Berkaca pada Cinthya Cooper, whistleblower kasus Worldcom yang meraih persons of the year dari majalah Time, maka Cinthya hanyalah seorang internal auditor biasa. Cinthya hanya internal auditor yang melaksanakan tugasnya sehari-hari. Dalam pelaksanaan tugasnya inilah Cinthya menemukan kecurangan yang dilakukan jajaran top management Worldcom. Ini menunjukkan bahwa dengan sistem yang kuat, pelanggaran akan dapat diminimalisir. Bayangkan beban yang harus ditanggung tidak hanya oleh negara namun juga oleh karyawan Waskita? Bayangkan kerugian yang ditanggung hanya demi memperoleh citra dan kebaikan belaka.
Pada akhirnya, kita semua berharap agar kasus ini tidak terulang lagi di masa mendatang. Direksi, Dewan Komisaris, insan perusahaan BUMN haruslah benar-benar menghayati dan memaknai penerapan implementasi GCG, agar GCG di BUMN tidak hanya sekedar menjadi kata-kata indah belaka, namun menjadi sesuatu yang dilaksanakan dengan tepat, komprehensif dan membumi. Let’s join with The GCG Way!
Terungkapnya skandal salah satu BUMN karya yang diduga melakukan rekayasa laporan keuangan patut dicermati secara mendalam. Di tengah gembar gembor pelaksanaan implementasi good corporate governance (GCG) BUMN, kasus ini memberikan tamparan keras untuk Kementerian Negara BUMN. Kasus ini, yang disebut-sebut sebagai Enron-nya Indonesia menunjukkan bahwa Kementerian Negara BUMN perlu berupaya lebih keras lagi dalam implementasi GCG di BUMN.
Terbongkarnya kasus ini berawal saat pemeriksaan kembali neraca dalam rangka penerbitan saham perdana tahun lalu. Direktur Utama perusahaan tersebut, menemukan pencatatan yang tak sesuai, dimana ditemukan kelebihan pencatatan Rp 400 miliar. Direksi periode sebelumnya diduga melakukan rekayasa keuangan sejak tahun buku 2004-2008 dengan memasukkan proyeksi pendapatan proyek multitahun ke depan sebagai pendapatan tahun tertentu.
Kasus ini memberikan beberapa pelajaran berharga. Pertama, implementasi GCG di Indonesia ternyata masih sekedar formalitas belaka. Fakta ini terungkap dari keengganan Direksi Perusahaan melaksanakan GCG di Perusahaan. Walaupun di perusahaan tersebut telah beberapa kali dilakukan assessment (pemetaan) implementasi GCG, namun tetap saja kasus ini tidak terlacak. Hal ini menunjukkan betapa canggih dan cermatnya penutupan jejak dari kasus ini. Hasil assessment GCG yang dilakukan Konsultan, pada akhirnya kemungkinan besar hanya menjadi hiasan lemari Direksi belaka, yang digunakan sebagai “penggugur kewajiban” terhadap kewajiban implementasi GCG. Hal ini menguatkan hipotesa penulis yang beberapa kali mengungkapkan bahwa jika GCG hanya sekedar menjadi formalitas, maka tunggulah saat kehancurannya. Tunggulah saatnya dimana bom waktu siap meledak dan menimbulkan guncangan skandal sebagai akibat lemahnya implementasi GCG.
Kedua, terlihat bahwa terjadi kerjasama sistemik melakukan rekayasa keuangan yang dilakukan karena lemahnya fungsi internal control. Hal ini menunjukkan bahwa pihak-pihak yang melakukan internal control mulai dari Dewan Komisaris sampai dengan Internal Audit tidak melakukan fungsinya dengan baik. Hal ini patut disayangkan mengingat GCG merupakan alat kontrol yang menciptakan check and balances yang digunakan dalam pengawasan pengelolaan perusahaan. Kementerian BUMN selaku pemegang saham dalam hal ini tidak dapat disalahkan, mengingat selaku pemegang saham Kementerian BUMN telah menempatkan wakilnya untuk melakukan pengawasan yang melekat pada diri Dewan Komisaris. Selain itu, potensi terjadinya kerjasama dengan Auditor Eksternal semakin mencuatkan dugaan kasus ini sebagai kasus Enron-nya Indonesia.
Ketiga, GCG di BUMN belumlah menjadi corporate culture. Implementasi GCG pada hakikatnya adalah menjadi corporate culture. Lemahnya implementasi GCG menunjukkan bukti bahwa GCG baru sampai tataran compliance driven, belum menjadi culture. Tidak menjadi culture pada hakikatnya membuka peluang terjadinya fraud. Fraud dapat dengan mudah terjadi, apabila insan perusahaan mendiamkan saja terjadinya pelanggaran. Kebijakan whistleblower yang memungkinkan terjadinya pelaporan pelanggaran secara dini penulis nilai juga belum diterapkan.
Langkah Selanjutnya
Apa yang harus dilakukan selanjutnya? Nasi telah menjadi bubur. Citra BUMN yang beberapa tahun terakhir menunjukkan tren positif seiring dengan pelaksanaan implementasi GCG berpotensi terpuruk kembali. Tidak bisa tidak, penyelesaian masalah ini harus dilakukan secara menyeluruh dan sistemik dengan menggabungkan paradigma GCG dan penegakan hukum.
Langkah pertama adalah dengan mengusut tuntas dan jelas pihak-pihak yang terlibat. Kementerian BUMN telah melakukan langkah tepat dengan mengganti direksi yang diduga terlibat dalam perkara ini. Namun demikian, mengganti direksi saja tidaklah cukup. Perlu dilakukan pembersihan besar-besaran terhadap intern Waskita dengan mengganti para pihak yang terlibat. Jika hanya pimpinannya saja yang diganti, tidak tertutup kemungkinan dimasa mendatang kasus ini akan terulang. Auditor Eksternal yang membantu pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab di Waskita dalam melakukan rekayasa keuangan harus dihukum seberat-beratnya, baik perusahaan maupun individunya. Jika Auditor Eksternal telah dapat dibeli oleh manajemen, kepada siapa stakeholders harus percaya?
Langkah kedua adalah dengan memperkuat implementasi GCG. Kementerian BUMN harus menyadari bahwa penguatan implementasi GCG mutlak diperlukan agar kasus yang sama tidak terulang. Kementerian BUMN tidak cukup hanya dengan “memaksa” BUMN memiliki kelengkapan infrastruktur dan softstructure, namun harus menekankan pada tataran implementasi. Perusahaan dapat menunjuk konsultan yang akan menginternalisasi dan menginstitusionalisasi penerapan GCG secara menyeluruh dan holistik. Paradigma pendekatan GCG yang compliance driven harus ditinggalkan dan diganti dengan penerapan GCG sebagai corporate culture. GCG haruslah menjadi sistem, struktur dan budaya yang satu sama lain tidak terpisahkan. Kasus ini diharapkan menjadi pemicu maraknya implementasi GCG, yang selama beberapa tahun ini kelihatannya adem ayem belaka.
Langkah ketiga adalah dengan menerapkan dan memperkuat internal control system dan kebijakan whistleblower. Internal control system yang dimiliki BUMN selama ini sangatlah lemah dan tidak tertata dengan rapi. Tindakan yang dilakukan baru sebatas mengobati sesuatu yang telah terjadi, belum sampai pada tahap pencegahan.
Selain itu, sangat sedikit BUMN yang memiliki kebijakan whistleblower dan menerapkannya. Kebijakan ini akan sangat bermanfaat untuk mendeteksi terjadi fraud. Pelapor harus dilindungi dari kemungkinan balas dendam dan tindakan berbahaya lainnya dari pihak yang dilaporkan. Berkaca pada Cinthya Cooper, whistleblower kasus Worldcom yang meraih persons of the year dari majalah Time, maka Cinthya hanyalah seorang internal auditor biasa. Cinthya hanya internal auditor yang melaksanakan tugasnya sehari-hari. Dalam pelaksanaan tugasnya inilah Cinthya menemukan kecurangan yang dilakukan jajaran top management Worldcom. Ini menunjukkan bahwa dengan sistem yang kuat, pelanggaran akan dapat diminimalisir. Bayangkan beban yang harus ditanggung tidak hanya oleh negara namun juga oleh karyawan Waskita? Bayangkan kerugian yang ditanggung hanya demi memperoleh citra dan kebaikan belaka.
Pada akhirnya, kita semua berharap agar kasus ini tidak terulang lagi di masa mendatang. Direksi, Dewan Komisaris, insan perusahaan BUMN haruslah benar-benar menghayati dan memaknai penerapan implementasi GCG, agar GCG di BUMN tidak hanya sekedar menjadi kata-kata indah belaka, namun menjadi sesuatu yang dilaksanakan dengan tepat, komprehensif dan membumi. Let’s join with The GCG Way!
Selasa, 27 Oktober 2009
GCG and Ethics
Oleh: Mohamad Fajri M.P
Dalam tayangan video ini akan diperlihatkan tentang GCG dan Ethics. Ini akan membuktikan ucapan Plato yang menyatakan, good people do not need law to tell them to act responsible, while bad people will find away to around the laws.
Artinya, bagi orang-orang yang baik, diumpamakan jika ada uang Rp 100 ribu tergeletak dijalanan, akan, karena orang baik tahu bahwa ini bukan haknya, tentu tidak akan mengambil. Sementara bagi orang-orang yang jahat, jangankan uang 100 ribu tergeletak dijalan, uang yang didalam lemari besi yang terkunci rapat pun akan diambil, seperti terlihat pada video ini.
Menurut suatu penelitian ada konsep 20:60:20.
Artinya, menurut penelitian ini disuatu perusahaan ada 20 persen orang yang memang dasarnya sudah baik. Tanpa sistem yang maksimal pun, orang ini tidak akan mencari-cari kesempatan untuk melakukan fraud. Di sisi sebaliknya, ada 20 persen orang yang memang dasarnya sudah jahat, dimana akan mencari kesempatan untuk menguntungkan dirinya sendiri dan mengambil sesuatu yang bukan haknya.
Sementara itu sisanya, 60 persen adalah massa mengambang. Jika di suatu perusahaan lebih kuat menariknya adalah yang baik, maka massa mengambang ini akan ikut ke yang baik. Namun jika disuatu perusahaan lebih kuat yang jahatnya, ia akan cenderung ikut ke yang jahat.
Oleh karena itu, rekan-rekan sekalian perlu menjadi champion GCG yang akan menjadi orang-orang baik sembari menyingkirkan orang jahat dari perusahaan kita.
Let's Join The GCG Way!
Dalam tayangan video ini akan diperlihatkan tentang GCG dan Ethics. Ini akan membuktikan ucapan Plato yang menyatakan, good people do not need law to tell them to act responsible, while bad people will find away to around the laws.
Artinya, bagi orang-orang yang baik, diumpamakan jika ada uang Rp 100 ribu tergeletak dijalanan, akan, karena orang baik tahu bahwa ini bukan haknya, tentu tidak akan mengambil. Sementara bagi orang-orang yang jahat, jangankan uang 100 ribu tergeletak dijalan, uang yang didalam lemari besi yang terkunci rapat pun akan diambil, seperti terlihat pada video ini.
Menurut suatu penelitian ada konsep 20:60:20.
Artinya, menurut penelitian ini disuatu perusahaan ada 20 persen orang yang memang dasarnya sudah baik. Tanpa sistem yang maksimal pun, orang ini tidak akan mencari-cari kesempatan untuk melakukan fraud. Di sisi sebaliknya, ada 20 persen orang yang memang dasarnya sudah jahat, dimana akan mencari kesempatan untuk menguntungkan dirinya sendiri dan mengambil sesuatu yang bukan haknya.
Sementara itu sisanya, 60 persen adalah massa mengambang. Jika di suatu perusahaan lebih kuat menariknya adalah yang baik, maka massa mengambang ini akan ikut ke yang baik. Namun jika disuatu perusahaan lebih kuat yang jahatnya, ia akan cenderung ikut ke yang jahat.
Oleh karena itu, rekan-rekan sekalian perlu menjadi champion GCG yang akan menjadi orang-orang baik sembari menyingkirkan orang jahat dari perusahaan kita.
Let's Join The GCG Way!
Langganan:
Postingan (Atom)