Oleh: Mohamad Fajri MP
Badai krisis keuangan global memang telah berlalu. Namun demikian, pemerintah dan dunia usaha jangan cepat berpuas diri dahulu. Pemerintah dan dunia usaha harus bersiap menghadapi berbagai kemungkinan terburuk. Dalam hal ini, Pemerintah dan dunia usaha perlu belajar dari pengalaman, sebab berdasarkan kajian Bank Dunia, salah satu penyebab krisis di Indonesia tahun 1997 adalah lemahnya implementasi GCG dan maraknya praktik bad corporate governance. Hal ini sangat mengherankan, sebab Indonesia yang dampak krisisnya masih terasa sampai saat ini justru tidak mengambil langkah antisipatif dan solusi komprehensif.
Ada beberapa hal yang patut disoroti terkait dengan lack of corporate governance di Indonesia. Pertama, kesalahan menjadikan GCG hanya per sektor saja. Di Indonesia, tidak ada undang-undang yang secara khusus menjadikan GCG sebagai kewajiban korporasi secara nasional. Memang Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas telah memuat semangat GCG, namun hal tersebut tidaklah cukup. Kewajiban pelaksanaan GCG dilakukan per sektor saja antara lain di BUMN dengan Keputusan Menteri Negara BUMN Nomor 117/M-MBU/2002, perbankan dengan PBI Nomor 8/4/PBI/2006 yang dirubah dengan PBI Nomor 8/14/PBI/2006, sektor asuransi dengan keluarnya Pedoman GCG Perasuransian, perusahaan listing di bursa, dan dana pensiun.
Sektor pasar modal melalui Bapepam dan Bursa Efek Indonesia pun justru belum secara tegas menyatakan kewajiban GCG kepada para emiten. Hal ini sangat disayangkan, karena dengan tidak adanya insentif untuk emiten, menjadikan emiten tidak bersemangat menjalankan GCG dan kalaupun dijalankan tidak lebih dari sekedar formalitas dan memenuhi kewajiban saja. Seharusnya kewajiban GCG tidak dijadikan per sektor saja, namun harus dijadikan kewajiban secara nasional. Perlu dikeluarkan undang-undang khusus yang secara tegas menyatakan setiap korporasi wajib menerapkan GCG. Dengan demikian akan tercipta suatu standar yang menjadikan GCG diterima dan dijalankan secara luas. Banyak korporasi yang karena tidak tahu akan hakikat GCG dan tidak menyadari akan pentingnya GCG yang kemudian justru melanggar rambu-rambu dalam berbisnis. Jangankan memiliki Code of Conduct sebagai pedoman etika bisnis dan etika kerja, akibat tidak diwajibkan untuk mengimplementasikan GCG, maka perusahaan-perusahaan ini cenderung mengabaikan GCG. Sangat disayangkan sebab timbulnya berbagai kasus fraud, penyimpangan dalam korporasi menjadi menu yang kita lihat sehari-hari dalam berita.
Hal kedua adalah implementasi GCG yang diwajibkan per sektor pun ternyata dalam pelaksanaannya hanyalah menjadi penggugur kewajiban semata. Mayoritas korporasi merasa cukup puas apabila telah mematuhi ketentuan peraturan tentang GCG. Padahal, mengutip pendapat Sofyan Djalil, compliance hanyalah tahapan paling minimal dari implementasi GCG. Jadi, jika perusahaan merasa telah melaksanakan GCG dengan mematuhi ketentuan peraturan, maka sesungguhnya korporasi tersebut masih jauh dari cukup dalam pelaksanaan GCG.
Berbicara tentang compliance, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Compliance dalam GCG berarti mematuhi ketentuan yang berkaitan dengan korporasi, misalnya di bidang pajak, jamsostek, ketenagakerjaan, dan bidang-bidang lain. Lantas bagaimana dengan penolakan Serikat Pekerja PLN untuk ikut Jamsostek dengan alasan mereka telah menyelenggarakan program yang sama secara mandiri? Jawaban paling mudah adalah berarti PLN belum mengimplementasikan GCG secara paripurna. Selain itu, hal yang perlu dikoreksi adalah menjadikan GCG sebagai bagian dari unit kerja Compliance seperti yang terjadi di sektor perbankan. Hal ini sangat tidak tepat karena berarti mempersempit konsep GCG itu sendiri. Sekali lagi yang perlu diingat, GCG compliance hanyalah bagian kecil dari GCG. Selain compliance, korporasi perlu mencari best practice yang dapat menopang kinerja korporasi. Perlu dibentuk unit kerja khusus yang melaksanakan GCG yang berfungsi mencari berbagai hal tentang GCG dan melaksanakannya secara tepat guna di perusahaan.
GCG Sebagai Solusi Krisis
Korporasi perlu mengantisipasi krisis yang terjadi dengan menyiapkan senjata. Senjata paling ampuh menurut penulis adalah dengan GCG. Dengan GCG maka korporasi memperkuat sistem dan struktur yang akan menopang dalam menghadapi krisis.
Penguatan sistem dilakukan pertama adalah dengan memperkuat manajemen risiko. Manajemen risiko diperlukan mulai dari pemetaan risiko, pengukuran risiko, dan evaluasi risiko. Penguatan manajemen risiko akan menjadikan korporasi dapat menghadapi krisis seperti yang terjadi saat ini dan siap menemukan solusi dan langkah antisipatif. Langkah selanjutnya adalah dengan memperkuat pelaksanaan etika bisnis dan etika kerja. Penguatan etika bisnis dan etika kerja (Code of Conduct) akan menjadikan korporasi lebih beretika dan bermartabat dalam berbisnis. Korporasi akan menghormati pelaksanaan bisnis dan menjauhi praktik-praktik menyimpang yang tidak benar. Hal ini secara otomatis akan mengurangi perusahaan-perusahaan nakal yang menghalalkan segala cara. Bisnis yang beretika dan bermartabat akan menjadikan krisis tidak terjadi. Langkah selanjutnya adalah dengan melaksanakan GCG secara konsisten. GCG dapat ditegakkan apabila mekanisme reward & punishment berjalan secara maksimal.
Pada akhirnya, dalam mengimplementasikan GCG, maka korporasi, pemerintah dan stakeholders harus membuat komitmen bersama dan inisiatif dari dalam tidak saja dari jajaran top management, melainkan juga meliputi seluruh unsur dalam perusahaan tersebut. Sosialisasi dan internalisasi penerapan GCG haruslah dijadikan sebagai bagian yang memperkuat dan meningkatkan praktik implementasi GCG menjadi lebih baik sehingga meningkatkan pula kepercayaan masyarakat pada perusahaan. Pada akhirnya, dengan menerapkan GCG, diharapkan perusahaan akan semakin memperkuat posisinya dalam menghadapi perkembangan persaingan global dan semakin menambah serta menguatkan nilai perusahaannya. Semoga saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar